Jalan Lintas Desa Rusak Warga Harus Mengadu Kemana?

  • Sep 14, 2024
  • sugeng nur cahyono
  • Berita Desa

Gunung Mulia - Kondisi jalan rusak, kerap menimbulkan rasa jengkel bagi kita yang terpaksa harus melewatinya, terlebih lagi setiap hari. Selain dapat menambah waktu tempuh perjalanan, jalan rusak juga tak jarang mengakibatkan kecelakaan bagi penggunanya, baik jatuh dari kendaraan, maupun kendaraan rusak.

Masyarakat tak ada pilihan, mau tak mau, suka tak suka harus melalui jalan rusak tersebut, karena tidak ada akses jalan alternatif lain yang dapat dilalui. Saking kesalnya, karena jalan rusak tak kunjung mendapat perbaikan, tak jarang warga menjadikan jalan rusak sebagai ajang menyampaikan protes kepada pemerintah, mulai dari menanam pohon pisang, berenang di kubangan air pada jalan rusak, memberi tanda menggunakan ban bekas, kursi, maupun papan/kayu dengan tulisan-tulisan unik, seperti "Jalan ini hanya diperbaiki menjelang Pilkada", "Jalan ini hanya diperbaiki jika Presiden akan kunjungan", dan lain sebagainya. Ekspresi tersebut sebagai bentuk kekecewaan masyarakat, karena belum mendapatkan pelayanan infrastruktur sebagaimana yang diharapkan, padahal masyarakat sudah berkontribusi melaksanakan kewajibannya dengan membayar pajak.

Kondisi jalan rusak ini turut dialami warga Desa Gunung Mulia dan sekitarnya, jalan rusak sudah mereka rasakan sudah sangat lama beberapa kali dewan melewati jalan tersebut tak kunjung mendapatkan titik terangnya, kondisi jalan rusak diperparah dengan adanya aktivitas lalu lalang truk pengangkut sawit dengan beban muatan yang cukup berat sehingga menambah kerusakan jalan.

Penyelenggara jalan wajib segera dan patut untuk memperbaiki jalan yang rusak, terlebih lagi kerusakannya berpotensi mengakibatkan kecelakaan lalu lintas. Namun biasanya, perbaikan jalan tak serta merta dapat dilakukan, mengingat ada faktor-faktor yang seringkali menjadi pengahambat, salah satunya adalah ketersediaan anggaran.

Ketidaktersediaan alokasi anggaran yang cukup untuk memperbaiki jalan rusak, tentu membuat pemerintah harus memutar otak, untuk menentukan mana yang prioritas untuk diperbaiki, mana yang masih bisa menunggu untuk diperbaiki. Lebih lanjut pada Pasal 24 UU LLAJ ditegaskan bahwa, jika belum dapat dilakukan perbaikan jalan yang rusak, maka sebagai bentuk tanggung jawab, penyelenggara jalan wajib memberi tanda atau rambu pada jalan yang rusak untuk mencegah terjadinya kecelakaan lalu lintas.

Hal ini yang acapkali luput dilakukan oleh penyelenggara jalan. Sehingga seringkali masyarakat langsung yang turun tangan untuk memberikan rambu-rambu jalan rusak.

Tanggung jawab penyelenggara jalan, tak hanya sampai pada memberikan tanda/rambu pada jalan rusak saja, sebenarnya terdapat sanksi bagi penyelenggara jalan yang tidak segera dan patut memperbaiki jalan rusak, yakni dapat dikenakan hukuman pidana dengan ancaman penjara paling lama enam bulan atau denda paling banyak Rp12.000.000,-. Selain itu, jika jalan rusak tersebut tak kunjung diperbaiki, hingga mengakibatkan luka berat pada pengguna jalan, penyelenggara jalan dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak Rp24.000.000,-. Terlebih jika mengakibatkan orang lain meninggal dunia, penyelenggara dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak Rp 120.000.000,-. Tak hanya jalan rusak yang menimbulkan korban luka/kematian saja, bahkan jika penyelenggara jalan yang tak kunjung memberi tanda atau rambu pada jalan yang rusak dan belum diperbaiki, maka dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama enam bulan atau denda paling banyak Rp1.500.000,-, sebagaimana ketentuan Pasal 273 UU LLAJ.

Tentu belum semua orang tahu bahwa ada kewajiban tersebut bagi penyelenggara jalan. Namun tentu saja pengguna jalan dapat langsung "memvonis" secara langsung penyelenggara jalan. Ada cara yang perlu dilakukan pengguna jalan agar tak terus menerus mendapati jalanan yang rusak, bahkan celaka karena jalan rusak.

Pengguna jalan dapat menyampaikannya kondisi dan lokasi jalan rusak pada instansi terkait, baik itu pada level kementerian, ataupun dinas terkait, seperti dinas pekerjaan umum, jika cakupannya di daerah. Kerena berdasarkan penjabaran kewenangan di atas, perbaikan jalan rusak menjadi kewenangan instansi sebagai penyelenggara pelayanan publik. Lantas, bagaimana jika pengguna jalan sudah menyampaikan informasi terkait kerusakan jalan, namun tidak mendapatkan respons? Apakah pengguna jalan harus memposting video jalan rusak tersebut di media sosial? Agar videonya viral dan kemudian dilihat oleh pihak terkait? Tentunya penulis tidak menganjurkan pengguna jalan melakukan hal tersebut. Memang jika videonya viral, besar kemungkinan dalam waktu singkat, masalah tersebut diketahui dan direspons oleh penyelenggara jalan, dan bisa jadi langsung diperbaiki oleh instansi. Namun tak menutup kemungkinan video tersebut justru menjadi bumerang bagi pengguna jalan, bahkan bisa berujung proses pidana (berpotensi pencemaran nama baik).